Ketika lebaran tiba, sudah tak asing lagi dengan yang namanya mudik, alias pulang kampung. Tapi kali ini bukan lebaran Idul Fitri ya, namun Idul Adha. Jadi sebutan mudik itu gak terlalu dipakai pada momen ini. Namun, ada cerita unik dari pengalaman lebaran kali ini, karena ini pertama kali lebaran di daerah mayoritas non muslim, tepatnya di Tana Toraja.
Awalnya memang sudah niat banget untuk bisa merasakan momen lebaran di Toraja, karena kamu juga sudah tahu kan daerah ini penduduk yang beragama Islam adalah minoritas. Justru itulah yang daya tariknya. Saya penasaran sekali bagaimana rasanya bisa berlebaran di sana.
Sebelum pergi ke sana, saya sempat berpikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri, ada banyak masjid gak ya di sana? Karena kalau lebaran kan shalatnya harus berjama’ah di masjid dan gak boleh sendirian. Sempat ragu sih dan ada keinginan untuk membatalkannya. Tapi karena ini kesempatan langka, akhirnya saya memutuskan untuk tetap berangkat.
Namun jauh-jauh hari, saya melakukan research terlebih dahulu sebelum ke sana. Tanya sana tanya sini untuk dapatkan informasi yang meyakinkan saya untuk tetap pergi ke sana. Bahkan saya sendiri cari seorang guide untuk bisa menemani. Tapi ujung-ujungnya gak jadi pakai guide, karena ada yang kasih saran lebih baik tidak pakai guide. Orang-orang Toraja itu baik dan ramah.
Baca juga: Bersihkan Hari Aktifmu Untuk Persiapan Traveling
Selama diperjalanan kepikiran banget sama orang Toraja, benar gak ya orangnya baik dan ramah? Secara orang Indonesia yang ketimur-timuran itu mukanya cukup sangar. Karena saat research itu, dapat kontak dan lihat foto di profil whatsapp nya memang tampangnya sangar-sangar sih.
Tapi setelah sampai di sana, beneran orangnya baik dan ramah. Hanya tampangnya saja yang terlihat menyeramkan, tapi sikapnya memang baik dan ramah banget. Apalagi kalau saya bertanya sesuatu, mereka pun semangat untuk memebritahukannya.
Saya mendapatkan informasi kalau tempat yang mengadakan shalat I’ed di Toraja itu ada di Makale dan Rantepao. Kalau gak salah dengar (dengar dari mobil yang memberitahukan dengan toa), di Makale itu shalat nya di lapangan. Sedangkan di Rantepao shalatnya di Masjid Raya Rantepao.
Kebetulan banget, penginapan yang saya sewa itu cukup dekat dengan Masjid Raya Rantepao. Hanya perlu berjalan kaki sekitar 200 meter sudah sampai. Jadi gak perlu khawatir terlalu jauh buat ikut shalat I’ed nya.
Pada malam hari pas malam takbiran, saya mencoba untuk cari tahu jadwal shalat nya, dan sekaligus mau laundry pakaian juga. Tempat laundry nya persis dekat masjid tersebut. Ketika melihat depan masjid, beruntung ada bapak-bapak yang baru keluar dan saya pun langsung menghampirinya.
Saat saya mendekati, mereka melihat saya dengan tatatpan yang berbeda. Mungkin terlihat seperti warga asing. Tapi saya menghiraukan tatapannya dan langsung bertanya, “permisi pak, saya mau tanya besok jadwal shalat I’ed jam berapa ya?”. Jam 7 pagi mas sudah mulai, usahakan sebelum jam 7 sudah di sini ya, jawab salah satu dari mereka. Lalu mereka melanjutkan pertanyaan, “mas nya dari mana dan tinggal di mana?”. Saya dari Jakarta dan tinggal di wisma sebelah situ, jawab saya. Oh kenapa harus sewa penginapan, padahal bisa tinggal di sini saja, jawab bapak yang satunya lagi.
Hmmm agak bingung juga sih mau bilang apa lagi, tapi biar gak kaku saya coba jawab “oh memangnya boleh ikut tidur di masjid ya pak? Soalnya saya baca beberapa referensi gak ada yang punya pengalaman tidur atau tinggal di masjid selama di Toraja”. Oh kebetulan memang baru jadi juga tempatnya. Jadii Masjid Raya Rantepao ini baru jselesai di renovasi dan wisma nya juga baru dibuat. Kalau ada yang berkunjung dan mau menginap silahkan saja, lanjutan jawaban bapak itu.
Oh terima kasih banyak atas tawarannya pak, karena saya sudah menyewa penginapan jadi saya tidurnya di sana saja. Sekali lagi terima kasih banyak pak. Saya pamit dulu ya pak, mau istirahat karena kan besok mau ikut shalat dan explore Tana Toraja lagi, saya berpamitan dan meninggalkan mereka.
Keesokan harinya, niat hati ingin mengikuti shalat I’ed tepat waktu, tapi karena traveling ke Toraja tidak terlalu lama dan saya tertarik sekali ingin ke Lolai, sebuah tempat yang disebut Negeri Diatas Awan. Jadi saya pun memutuskan untuk pergi ke sana terlebih dahulu. Setelah itu baru cari masjid di sekitarnya.
Setelah subuh, saya langsung berangkat menuju Lolai, tapi selalu liat jam agar tidak ketinggalan shalat I’ed, karena inilah momen yang saya nantikan. Tepat jam 06.30 WITA, saya langsung turun dari Negeri Diatas Awan itu. Sepanjang jalan memperhatikan sebelah kanan-kiri cari masjid, berharap bisa menemukan masjid terdekat.
Ternyata di sekitar Lolai belum melihat satu pun masjid, dan saya cari orang yang bisa untuk bertanya. Mungkin karena masih pagi juga, jadi di sepanjang jalan hanya sedikit orang yang ada di pinggir jalan. Ketika melihat anak kecil yang seusia anak SMP, saya langsung bertanya saja “Dek permisi mau tanya, kalau masjid terdekat di sini di mana ya?”. Tidak tahu kak, jawabnya.
Dan saya pun terus melaju dan berusaha mencari masjid terdekat. Sudah dua kali bertanya ke anak kecil jawabannya tidak tahu. Akhirnya berpikir ya sudah saya balik lagi ke Rantepao saja. Tapi di perjalanan ada seorang laki-laki dan saya coba bertanya, “permisi pak, saya mau tanya kalau masjid terdekat di sini di mana ya? Soalnya saya mengejar shalat I’ed”. Wah kalau di sini tidak ada, yang ada hanya ada di Rantepao saja, jawabnya.
Dan saya pun langsung ngebut agar bisa sampai Masjid Raya Rantepao, karena melihat jam masih pukul 06.40 WITA. Wah keburu gak ya sampe sana, karena kan gak mau ketinggalan. Beruntung jalanan di sini gak macet seperti di Jakarta, jadi kemungkinan besar bisa sampai Rantepao jam 07.00 WITA.
Setelah ngebut dan tidak melihat jam, akhirnya tiba di dekat Masjid Raya Rantepao. Saya melihat orang-orang sudah ramai dan mau pada berdiri. Artinya shalat I’ed pun mau di mulai. Seketika saya pun bingung, karena belum wudhu. Kan gak sah kalau shalat tanpa wudhu.
Tepat banget saya berhenti di sebuah warung, dan ada seorang ibu-ibu sedang menyiram bunga miliknya. Saya pun tanpi piker-pikir lagi langsung menghampirinya dan bilang “bu maaf sebelumnya, airnya boleh saya minta tidak untuk berwudhu, karena saya mengejar ikut shalat?” Oh silahkan pakai saja, kebetulan juga airnya baru saya ambil dan bersih kok, jawabnya.
Baca juga: Cara Mengatasi Homesick Saat traveling
Langsung saya pakai airnya itu untuk wudhu. Ini wudhunya buru-buru banget karena takut ketinggalan. Selama berwudhu, ibunya itu kasih semangat “ayo mas buruan, orang-orang sudah mau mulai”. Mungkin kalau ibu itu seorang cheerleader menyemangatinya pake pom-pom kali ya? Hahaha.
Setelah saya selesai berwudhu, saya langsung bilang “makasih ya bu” dan langsung lari terbirit-birit. Huh untungnya masih bisa ikut dan merasakan shalat I’ed dan lebaran di Toraja. Inilah salah satu target dan alasan traveling ke Tana Toraja. Jarang sekali kan travel blogger bisa mendapatkan momen seperti ini.
Saya kira shalat di sini sama seperti di kampung halaman saya yang selesainya pukul 08.30 atau maksimal pukul 09.00, dan ternyata beda. Di sini lebih cepat, karena jam 07.30 WITA saja sudah selesai. Agak kaget sih, dikira lebih lama. Tapi secara umum semuanya sama dan tidak ada perbedaan pada proses shalat I’ed nya. Hanya saja lebih cepat pada khutbahnya.
Setelah selesai shalat I’ed, saya pun melanjutkan untuk explore tempat lainnya di Toraja. Akhirnya, saya bisa merasakan pertama kali lebaran di tempat mayoritas non muslim, walaupun diiringi dengan rasa terburu-buru. Dan inilah pengalaman saya bisa berlebaran tidak mudik ke kampung halaman. – Budi Setiadi